Alkisah di desa yang terpencil
hiduplah seorang petani yang sholeh. Dia mempunyai cita-cita ingin mendidik
anaknya laki-laki yang semata wayang. Namun dia prihatin karena anaknya yang
diharapkan akan bisa menjadi bekal akhirat itu sulit untuk dididik tentang
pelajaran iman. Selain malas, anaknya itu lebih suka bermain internet daripada
mendengarkan nasehat ayahnya.
Merasakan hal itu, petani tersebut merasa sedih dan berusaha memutar otak bagaimana caranya anaknya mengenal atau bahkan mencintai pelajaran akherat. Akhirnya atas kuasa Alloh, petani itu mendapatkan petunjuk. Petani itu mencari tahu apa yang menjadi kesukaan anaknya dimana dia dapat mengimbanginya. Kalau masalah internet jelas petani itu tidak mampu. Maka, ditemukanlah cara dimana dia dapat mengimbangi kesukaan anaknya yakni wayang kulit. Betul, anaknya memang suka wayang kulit, karena sejak kecil sering diajak kakeknya menonton wayang kulit kalau pas kebetulan ada tontonan wayang kulit, entah itu di kabupaten atau di tempat orang yang punya kerja yang menanggap wayang kulit. Setelah dipertimbangkan, lalu si petani tersebut ingin menanggap wayang kulit dengan alasan tasyakuran hasil panen.
Petani tersebut tidak perduli entah panen depan nanti akan berhasil ataupun rugi, ia tetap akan menanggap wayang kulit. Perkara biaya yang diperlukan tidak masalah, yang penting dia bisa membuka kesadaran anaknya tentang ilmu kerohanian pada diri putra tunggalnya itu. Ketika musim panen telah tiba, ia mengadakan pagelaran wayang kulit di rumahnya. Dia melihat anaknya duduk paling depan dan asyik menonton wayang yang dimainkan oleh sang dalang yang pada waktu itu bercerita tentang perang tanding antara Cakil dan Harjuno. Dengan gerakan lembut petani itu duduk disebelah putranya dan memulai pembicaraan.
“Nang, apa nama kain putih yg dibeber itu?” tanya si petani pada anaknya. Dengan tanpa menoleh si anak menjawab pertanyaan ayahnya, “itu namanya kelir atau layar, pak.”
Kemudian petani itu melanjutkan pertanyaannya :
“Lha layar itu tadi membentang sendiri atau ada yang membentangkan, nang?”
“Ya jelas ada yang membentangkan tho, pak. Bapak itu kok lucu, masak layar itu membentang sendiri?” jawab anaknya agak heran atas pertanyaan ayahnya.
“Tahu nggak kamu, bahwa layar putih yang dibentangkan itu ibarat jagad atau bumi yang sedang kamu tempati saat ini. Seperti yang di dawuhkan Alloh : “ALLOH MENGGELAR LANGIT DAN BUMI.”
Kemudian petani itu melanjutkan pertanyaannya, “Nang, apa sih yang menerangi keber atau layar itu kok bisa terang begitu?”
“Itu yang menerangi namanya blencong (nama lampu yang dipasang di atas layar wayang kulit) .”, jawab si anak masih heran dengan sikap ayahnya. Dia heran karena yang ditanyakan ayahnya bukan cerita wayangnya tapi malah peralatan wayang.
“Ketahuilah nang, blencong itu ibarat matahari yang berfungsi sebagai penerang jagadnya wayang, dan ini juga seperti yang diterangkan dalam Alqur’an yang artinya : DAN TELAH MENJADIKAN MATAHARI SEBAGAI LAMPUNYA JAGAD.”
Merasakan hal itu, petani tersebut merasa sedih dan berusaha memutar otak bagaimana caranya anaknya mengenal atau bahkan mencintai pelajaran akherat. Akhirnya atas kuasa Alloh, petani itu mendapatkan petunjuk. Petani itu mencari tahu apa yang menjadi kesukaan anaknya dimana dia dapat mengimbanginya. Kalau masalah internet jelas petani itu tidak mampu. Maka, ditemukanlah cara dimana dia dapat mengimbangi kesukaan anaknya yakni wayang kulit. Betul, anaknya memang suka wayang kulit, karena sejak kecil sering diajak kakeknya menonton wayang kulit kalau pas kebetulan ada tontonan wayang kulit, entah itu di kabupaten atau di tempat orang yang punya kerja yang menanggap wayang kulit. Setelah dipertimbangkan, lalu si petani tersebut ingin menanggap wayang kulit dengan alasan tasyakuran hasil panen.
Petani tersebut tidak perduli entah panen depan nanti akan berhasil ataupun rugi, ia tetap akan menanggap wayang kulit. Perkara biaya yang diperlukan tidak masalah, yang penting dia bisa membuka kesadaran anaknya tentang ilmu kerohanian pada diri putra tunggalnya itu. Ketika musim panen telah tiba, ia mengadakan pagelaran wayang kulit di rumahnya. Dia melihat anaknya duduk paling depan dan asyik menonton wayang yang dimainkan oleh sang dalang yang pada waktu itu bercerita tentang perang tanding antara Cakil dan Harjuno. Dengan gerakan lembut petani itu duduk disebelah putranya dan memulai pembicaraan.
“Nang, apa nama kain putih yg dibeber itu?” tanya si petani pada anaknya. Dengan tanpa menoleh si anak menjawab pertanyaan ayahnya, “itu namanya kelir atau layar, pak.”
Kemudian petani itu melanjutkan pertanyaannya :
“Lha layar itu tadi membentang sendiri atau ada yang membentangkan, nang?”
“Ya jelas ada yang membentangkan tho, pak. Bapak itu kok lucu, masak layar itu membentang sendiri?” jawab anaknya agak heran atas pertanyaan ayahnya.
“Tahu nggak kamu, bahwa layar putih yang dibentangkan itu ibarat jagad atau bumi yang sedang kamu tempati saat ini. Seperti yang di dawuhkan Alloh : “ALLOH MENGGELAR LANGIT DAN BUMI.”
Kemudian petani itu melanjutkan pertanyaannya, “Nang, apa sih yang menerangi keber atau layar itu kok bisa terang begitu?”
“Itu yang menerangi namanya blencong (nama lampu yang dipasang di atas layar wayang kulit) .”, jawab si anak masih heran dengan sikap ayahnya. Dia heran karena yang ditanyakan ayahnya bukan cerita wayangnya tapi malah peralatan wayang.
“Ketahuilah nang, blencong itu ibarat matahari yang berfungsi sebagai penerang jagadnya wayang, dan ini juga seperti yang diterangkan dalam Alqur’an yang artinya : DAN TELAH MENJADIKAN MATAHARI SEBAGAI LAMPUNYA JAGAD.”
Kemudian petani itu melanjutkan
pertanyaannya lagi, “Apa yang ditata rapi di kanan kiri layar itu, nang?”
“Jelas itu wayang lho ya, lha... bapak ini kok seperti tidak pernah lihat wayang saja.” Jawab si anak sambil tetap melihat adegan wayang yang dimainkan si dalang dengan rasa risi karena konsentrasinya merasa terganggu. Tapi si petani tidak terpengaruh dengan respon anaknya dan kemudian kembali melanjutkan pertanyaannya.
“Nah kira-kira duluan mana memasang wayang dengan layarnya?”
“Jelas duluan masang layarnya pak. Setelah layar terpasang baru kemudian wayangnya ditata. Ah.. bapak tadi kan lihat sendiri waktu memasang layar, kan?”, jawab si anak mulai gemas.
“Hmmm, jadi setelah layar dipasang lalu lampu dipasang baru kemudian wayangnya ditata, ya itulah nang, gambaran jagad manusia ini. Yaitu setelah bumi dan langit disiapkan (setelah jagad digelar) barulah manusia diturunkan diciptakan. Dan perlu kamu ketahui nang, bahwa wayang itu merupakan gambaran dari manusia yang berada di jagad ini. Dan ini sesuai dengan dawuh Allah dlm Alqur’an : ALLAH ADALAH DZAT YANG TELAH MENJADIKAN UNTUK KAMU SEMUA BUMI SEBAGAI TEMPAT TINGGAL DAN MENJADIKAN LANGIT SEBAGAI ATAP DAN DIA MENJADIKAN RUPAMU LALU DIBAGUSKAN RUPAMU.”
Berhenti sejenak si petani itu sambil menikmati sabetan wayang yang yang sedang perang yang dimainkan secara apik oleh si dalang yaitu perang antara Cakil dan Harjuna. Kemudian petani itu melanjutkan pertanyaannya :
“Wayang tadi sebelum di tata di layar itu, ada dimana nak?”
“Ya ada di dalam kotak wayang.” Jawab si anak singkat sambil mengeryitkan dahinya.
“Jadi wayang itu dari kotak dan nanti setelah selesai dimainkan kembali lagi ke kotak nang?” petani itu terus memancing anaknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Kemudian petani itu kembali melanjutkan bicaranya :
“Di dalam Alquran ada ayat yang artinya : DAN KEPUNYAAN ALLAH GEDUNG (PERBENDAHARAAN) LANGIT DAN BUMI.
Itulah nang, yang namanya Sangkan Paran Dumadi.” Tutur petani itu pada anaknya.
Mendengar kalimat penjelasan tersebut, si anak menoleh kepada ayahnya,
“Sangkan Paran Dumadi? Aku ingin dijelaskan lebih lanjut, pak. Tetapi jangan di sini, terlalu ramai.” pinta si anak sambil mengajak pindah tempat. Dalam hati si petani, ia bersyukur taktiknya berhasil menyita perhatian si anak untuk masuk ke dalam pelajaran rohani. Maka diapun menuruti ajakan anaknya utk mencari tempat yang sepi, jauh dari tempat pagelaran wayang saat itu.
“Jelas itu wayang lho ya, lha... bapak ini kok seperti tidak pernah lihat wayang saja.” Jawab si anak sambil tetap melihat adegan wayang yang dimainkan si dalang dengan rasa risi karena konsentrasinya merasa terganggu. Tapi si petani tidak terpengaruh dengan respon anaknya dan kemudian kembali melanjutkan pertanyaannya.
“Nah kira-kira duluan mana memasang wayang dengan layarnya?”
“Jelas duluan masang layarnya pak. Setelah layar terpasang baru kemudian wayangnya ditata. Ah.. bapak tadi kan lihat sendiri waktu memasang layar, kan?”, jawab si anak mulai gemas.
“Hmmm, jadi setelah layar dipasang lalu lampu dipasang baru kemudian wayangnya ditata, ya itulah nang, gambaran jagad manusia ini. Yaitu setelah bumi dan langit disiapkan (setelah jagad digelar) barulah manusia diturunkan diciptakan. Dan perlu kamu ketahui nang, bahwa wayang itu merupakan gambaran dari manusia yang berada di jagad ini. Dan ini sesuai dengan dawuh Allah dlm Alqur’an : ALLAH ADALAH DZAT YANG TELAH MENJADIKAN UNTUK KAMU SEMUA BUMI SEBAGAI TEMPAT TINGGAL DAN MENJADIKAN LANGIT SEBAGAI ATAP DAN DIA MENJADIKAN RUPAMU LALU DIBAGUSKAN RUPAMU.”
Berhenti sejenak si petani itu sambil menikmati sabetan wayang yang yang sedang perang yang dimainkan secara apik oleh si dalang yaitu perang antara Cakil dan Harjuna. Kemudian petani itu melanjutkan pertanyaannya :
“Wayang tadi sebelum di tata di layar itu, ada dimana nak?”
“Ya ada di dalam kotak wayang.” Jawab si anak singkat sambil mengeryitkan dahinya.
“Jadi wayang itu dari kotak dan nanti setelah selesai dimainkan kembali lagi ke kotak nang?” petani itu terus memancing anaknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Kemudian petani itu kembali melanjutkan bicaranya :
“Di dalam Alquran ada ayat yang artinya : DAN KEPUNYAAN ALLAH GEDUNG (PERBENDAHARAAN) LANGIT DAN BUMI.
Itulah nang, yang namanya Sangkan Paran Dumadi.” Tutur petani itu pada anaknya.
Mendengar kalimat penjelasan tersebut, si anak menoleh kepada ayahnya,
“Sangkan Paran Dumadi? Aku ingin dijelaskan lebih lanjut, pak. Tetapi jangan di sini, terlalu ramai.” pinta si anak sambil mengajak pindah tempat. Dalam hati si petani, ia bersyukur taktiknya berhasil menyita perhatian si anak untuk masuk ke dalam pelajaran rohani. Maka diapun menuruti ajakan anaknya utk mencari tempat yang sepi, jauh dari tempat pagelaran wayang saat itu.
Setelah mendapatkan tempat yang
dirasa sesuai, maka keduanya, si ayah dan anak tersebut mencari tempat duduknya
masing-masing meskipun hanya beralaskan rumput.
“Pak, tolong dijelaskan tentang Sangkan Paran Dumadi tadi.” Pinta si anak mengawali pembicaraan.
“Apa kamu tertarik tho, nang?”
“Iya pak.” Sahut si anak.
“Baik jika begitu.” Kata si petani, ia diam sejenak untuk menghisap rokoknya kemudian melanjutkan penuturannya :
“Kalimat Sangkan Paran Dumadi, Sangkan itu sama dengan Songko endi (dari mana) dan yang dimaksud Songko endi (dari mana) itu adalah wujud ingsun. Jadi sama dengan darimana wujud ingsun.” Jelas si petani itu. Sesaat ia diam sebentar sambil memperhatikan wajah sang anak untuk mempelajari apakah si anak tersebut paham dengan yang ia terangkan.
“Jelas tidak, nang?”
“Jelas pak. Terus kalimat Paran?” Sahut anaknya sambil meminta untuk meneruskan cerita ayahnya.
“Untuk kata PARAN sama dengan Parane menyang endi (perginya kemana). Itu juga sama, yaitu wujud ingsun atau sama dengan kemana perginya wujud ingsun? Ini seperti yang ditanyakan dalam ayat Alqur’an yang artinya: KEMANA KAMU PERGI” (At Takwir/26).
Petani itu kembali diam sejenak untuk memperhatikan raut wajah anaknya.
“Dilanjut lagi pak, aku sudah jelas kok, kalau tidak jelas aku akan bertanya.” Tutur si anak yang menyatakan bahwa ia sudah paham apa yang dijelaskan ayahnya.
Kemudian petani itu melanjutkan pelajarannya :
“Jadi Sangkan Paran Dumadi itu maksudnya “Songko endi wujude ingsun iki lan marang endi bakale wujud ingsun iki (darimana wujud saya dan akan kemana wujud saya ini nantinya). Dan oleh karena wujud manusia terdiri dari jasmani dan ruhani, maka Sangkan Paran Dumadi manusia itu sendiri ada dua, yaitu :
Pertama, Sangkan Paran Dumadi jasmani yang maksudnya jasmani itu darimana dan akan kemana nantinya?
Kedua Sangkan Paran Dumadi ruhani yang maksudnya ruhani itu darimana dan akan kemana nantinya?
Kira-kira bisa kamu terima tidak nang apa yang barusan bapak sampaikan ?” Kembali petani itu bertanya karena masih belum yakin apakah anaknya sudah bisa menerima apa yang ia sampaikan.
“Aku paham dengan apa yang bapak terangkan. Mohon dilanjutkan lagi pak.” Jawab si anak.
“Lho, apa kamu tidak ingin main internetan seperti biasanya, nang?” sindir si petani kepada anaknya.
“Tidak dulu pak. Dan lagian saya lagi tidak punya uang untuk bayar sewanya.” Jawab si anak dengan tenang.
“Apa nanti tidak dicari teman-temanmu di facebok atau teman member grupmu?” Si petani masih menggoda anaknya.
“Ah... biar aja, paling-paling mereka cuma nungguin jempol dan coment-ku.” Sahut si anak.
“Apa itu? Kok internet pake ada istilah jempol segala?” Ganti si petani yang bingung.
“Sudahlah pak, dilanjutin aja, aku jelaskan ke bapak paling juga ga tahu.” Rengek si anak.
Dalam hati si petani ada perasaan senang karena ternyata putera nya yang semata wayang itu sudah mulai tertarik tentang pelajaran ruhani.
“Pak, tolong dijelaskan tentang Sangkan Paran Dumadi tadi.” Pinta si anak mengawali pembicaraan.
“Apa kamu tertarik tho, nang?”
“Iya pak.” Sahut si anak.
“Baik jika begitu.” Kata si petani, ia diam sejenak untuk menghisap rokoknya kemudian melanjutkan penuturannya :
“Kalimat Sangkan Paran Dumadi, Sangkan itu sama dengan Songko endi (dari mana) dan yang dimaksud Songko endi (dari mana) itu adalah wujud ingsun. Jadi sama dengan darimana wujud ingsun.” Jelas si petani itu. Sesaat ia diam sebentar sambil memperhatikan wajah sang anak untuk mempelajari apakah si anak tersebut paham dengan yang ia terangkan.
“Jelas tidak, nang?”
“Jelas pak. Terus kalimat Paran?” Sahut anaknya sambil meminta untuk meneruskan cerita ayahnya.
“Untuk kata PARAN sama dengan Parane menyang endi (perginya kemana). Itu juga sama, yaitu wujud ingsun atau sama dengan kemana perginya wujud ingsun? Ini seperti yang ditanyakan dalam ayat Alqur’an yang artinya: KEMANA KAMU PERGI” (At Takwir/26).
Petani itu kembali diam sejenak untuk memperhatikan raut wajah anaknya.
“Dilanjut lagi pak, aku sudah jelas kok, kalau tidak jelas aku akan bertanya.” Tutur si anak yang menyatakan bahwa ia sudah paham apa yang dijelaskan ayahnya.
Kemudian petani itu melanjutkan pelajarannya :
“Jadi Sangkan Paran Dumadi itu maksudnya “Songko endi wujude ingsun iki lan marang endi bakale wujud ingsun iki (darimana wujud saya dan akan kemana wujud saya ini nantinya). Dan oleh karena wujud manusia terdiri dari jasmani dan ruhani, maka Sangkan Paran Dumadi manusia itu sendiri ada dua, yaitu :
Pertama, Sangkan Paran Dumadi jasmani yang maksudnya jasmani itu darimana dan akan kemana nantinya?
Kedua Sangkan Paran Dumadi ruhani yang maksudnya ruhani itu darimana dan akan kemana nantinya?
Kira-kira bisa kamu terima tidak nang apa yang barusan bapak sampaikan ?” Kembali petani itu bertanya karena masih belum yakin apakah anaknya sudah bisa menerima apa yang ia sampaikan.
“Aku paham dengan apa yang bapak terangkan. Mohon dilanjutkan lagi pak.” Jawab si anak.
“Lho, apa kamu tidak ingin main internetan seperti biasanya, nang?” sindir si petani kepada anaknya.
“Tidak dulu pak. Dan lagian saya lagi tidak punya uang untuk bayar sewanya.” Jawab si anak dengan tenang.
“Apa nanti tidak dicari teman-temanmu di facebok atau teman member grupmu?” Si petani masih menggoda anaknya.
“Ah... biar aja, paling-paling mereka cuma nungguin jempol dan coment-ku.” Sahut si anak.
“Apa itu? Kok internet pake ada istilah jempol segala?” Ganti si petani yang bingung.
“Sudahlah pak, dilanjutin aja, aku jelaskan ke bapak paling juga ga tahu.” Rengek si anak.
Dalam hati si petani ada perasaan senang karena ternyata putera nya yang semata wayang itu sudah mulai tertarik tentang pelajaran ruhani.
“Ya...ya...ya.. bapak akan lanjutin ceritanya.” Jawab
petani itu bersemangat dengan perubahan sikap anaknya. Kemudian petani itu
melanjutkan pelajarannya dan menjelaskan panjang lebar tentang Sangkan Paran
Dumadi.
“Kamu tahu kan
nang? Bahwa setiap manusia itu ada jasmaninya (jisim atau jasad). Jasmani itu
bahasa Arab-nya JISMUN yang artinya susunan atau wujud yang tersusun. Dengan
dasar ini maka setiap wujud atau bentuk yang terdiri dari susunan disebut jisim
atau jismun. Sementara Jismun manusia itu ada dua yaitu : jismun kasar dan
jismun halus (lathif). Jadi jasmani itu asalnya dari tanah dan nantinya akan
kembali ke tanah. Seperti yg diterangkan dalam ayat Alqur’an yang artinya
sebagai berikut: 'DARI TANAH SAYA TELAH
MENCIPTAKAN KAMU DAN KE DALAM TANAH SAYA AKAN MENGEMBALIKAN KAMU.'
(Thoo-Haa/15).
Jadi yang
jasmani manusia itu diciptakan dari tanah ini dinamakan sangkan, dan yang
dikembalikan lagi ke tanah ini dinamakan paran. Jasmani manusia diciptakan dari
tanah dan akan kembali ke tanah, itulah yang dinamakan sangkan parane dumadinya
jasmani. Kalau di pewayangan digambarkan dari kotak dan akan kembali lagi ke
kotak.” Tutur petani itu panjang lebar dalam menjelaskan pelajaran kepada anak
tunggalnya itu. Dan si anak yang mendapat penjelasan yang mendetail itu
mengangguk-angguk tanda sudah paham.
“Terus selanjutnya bagaimana, pak.” Desak si anak tidak sabar.
“Ya sabar to, nang. Yang bapak terangkan tadi kamu betul sudah paham?” Tanya
petani meyakinkan.
“Sudah pak!” Sahut si anak singkat.
Lalu petani itu menjelaskan lebih dalam tentang sangkan paran dumadi.
“Kemudian apabila jasmani itu jika telah kembali ke
bumi (mati) maka apa yg telah dimiliki jasmani itu akan di bagi-bagi dan
manusia yang memiliki itu tidak akan mampu untuk mempertahankannya. Seperti :
Kulit, daging dan darah bakal diberikan kepada belatung.
Rambut dan tulang diberikan kepada tanah.
Nyawa diberikan kepada malaikat.
Harta bendanya dibagi untuk sanak saudara dan keluarganya yang masih hidup.
Isteri/suami yang ditinggalkan sudah ditunggu orang lain.
Iman juga sudah diincar setan.
Dalam kehidupan manusia itu yang seharusnya diutamakan adalah iman. Biarlah
semuanya diwaris-wariskan asal iman kita tidak diwarisi setan.” Jelas petani
itu sambil menyalakan rokoknya . Beberapa saat kemudian tampak kepulan asap
keluar dari hidung dan mulut petani itu.
“Oh.. iya pak, tolong diperjelas sekalian, saya kok sering dengar tentang kata
bidadari. Apa itu bidadari, pak?” tanya si anak memotong asyiknya sang bapak
yang lagi menikmati rokoknya.
“Kamu itu yang dipikirkan yang enak-enak saja, boro-boro bidadari, sedangkan
kamu tidak dijilat panasnya api neraka saja sudah beruntung, kok.” Jawab si
petani menanggapi pertanyaan anaknya.
“Lho, apa bapak tidak suka kalau puteranya punya isteri bidadari?” Ganti si
anak yang menggoda bapaknya.
“Ah...omong sama kamu, ini pelajarannya dilanjut apa tidak?” Tanya si
petani serius.
“Ya dilanjutkan dong pak.” Jawab si anak.
“Tadi kamu bicara tentang bidadari, baiklah bapak akan jelaskan sedikit.”
Kemudian petani itu mulai menjelaskan tentang bidadari, apa itu bidadari, dan
bagaimana bentuknya bidadari. (sementara untuk saat ini tidak dimuat di dalam
cerita).
Kembali ke Sangkan Paran Dumadi, “Perlu kamu ketahui, nang.
Bahwa kehidupan di dunia, di neraka dan di surga itu beda. Kalau di dunia ini
ada yang tua, ada yang muda, ada pria, ada wanita. Maka kalau di surga itu
tidak ada yang tua maupun yang muda. Tidak ada pria atau wanita. Di surga tidak
ada orang tidur, semuanya terjaga. Di surga juga tidak ada orang yang sakit,
tidak ada orang yang kecapaian, dsb.” Tutur petani itu.
“Surga itu mutlak kedamaian sejati. Sebaliknya kalau di neraka, mutlak tidak
senang, tidak mengenakkan dan menyakitkan. Jadi surga dan di neraka itu sama2
mutlaknya. Lain kalau di dunia, kadang senang kadang susah, kadang sakit kadang
sehat, dst.” Demikian uraian petani itu dalam memberi wejangan pada anaknya.
Petani itu kemudian mengambil rokoknya yang ada di dalam
saku tapi ternyata sudah habis.
“Wah rokoknya habis, nang.” Kata si bapak.
“Kalau habis memangnya knp, pak ?”
“Ya ceritanya berhenti dulu.”
“Wah...sayang sekali.” Sahut si anak kecewa.
“Lho, kok sayang ?”
“ Kan belum
komplit penjelasan bapak.”
“Yang mana yang belum komplit, nang ?”
“Tadi ada Sangkan Paran Dumadi jasmani, nah untuk Sangkan Paran Dumadi ruhani kan belum dijelaskan
pak.”
“Oh..iya ..ya. Baiklah bapak lanjutkan. Tapi ada syaratnya.”
“Apa syaratnya, pak ?”
“Syaratnya kamu harus belikan bapak sebungkus rokok terlebih dahulu.” Jelas
petani itu yang kemudian mengeluarkan uang dari sakunya yang diberikan kepada
anaknya.
Setelah petani itu menerima sebungkus rokok kemudian :
“Nah, kalau begini bapak akan merasa enteng untuk ngomong, nang.” kata bapak itu
sambil menghembuskan asap rokok yg telah dinyalakan.
“Apa hubungannya ngomong dengan rokok, pak?”
“Rokok itu berasal dari kata Ro dan Kok, ro dari kata ukoro (kalimat), kok
dari kata pokok atau kalimat yang pokok, kalimat yang baku atau kalimat yang baik. Api rokok dapat
digambarkan sebagai emosi/kemarahan (nafsu manusia), dan asap rokok diibaratkan
atsar manusia. Pucuknya dibakar oleh bara api tapi setelah sampai dibongkotnya
sudah berupa asap. Maksudnya kalau manusia dalam menghadapi kemarahan itu jadikanlah
asapnya kemarahan itu sebagai asap yang bermanfaat.” Tutur petani itu.
“Oh... ternyata rokok juga memiliki makna ya, pak?” Komentar si anak sambil
mengangguk-angguk.
“Sekarang bapak akan melanjutkan tentang sangkan paran dumadinya ruhani. Ruh yang
ada pada manusia itu sendiri juga ada dua macam yaitu : Ruh Nuroni dan Ruh
Robani. Ruh Nuroni itu ruh yang berasal dari tiupan malaikat, oleh karena
malaikat itu diciptakan dari nur. Ini diterangkan dalam Hadits Nabi yang
artinya sebagai berikut :
‘DICIPTAKAN MALAIKAT DARI CAHAYA, MAKA
TIUPANNYA MALAIKAT JUGA DISEBUT NUUR DAN ITU DISEBUT RUH NURONI, YANG PADA
AKHIRNYA NANTI UNSUR MALAIKAT’.
Dan ruh nuroni itu nanti akan kembali kepada malaikat lagi. Dan ruh robbani itu
dari alam amar.
‘ARRUHU MIN AMRI ROBBI (Al Isro/85).
Ruh itu termasuk urusan Tuhanku. Ruh Robbani ini lebih tinggi lagi dari Ruh
Nuroni. Dan masih ada yang lebih tinggi lagi dari ruh Robbani.
Jadi pada diri kita ini ruhnya dua. Dan ruh ini akhirnya akan kembali kepada
Allah dan kembalinya ruh inilah yang dimaksud : INNAA LILLAHI WA INNAA ILLAIHI ROJI’UUN. Yang artinya sesungguhnya
kami dari Alloh dan akan kembali ke Alloh. Jadi yang dimaksud Innaa Lillahi wa innaa Illaihi Roji’uun
itu kembalinya ruh pada Alloh, bukan kembalinya jasmani pada bumi.
Itulah nang keterangan singkat masalah sangkan paran dumadi.” Jelas petani itu secara panjang lebar.
Kemudian petani itu mencoba memancing anaknya dengan pertanyaan selanjutnya.
“Ketika wayang itu masih ada di dalam kotak, kira-kira apa
sudah ada ceritanya apa belum, nang. Atau kalau masih ada di dalam kotak sudah
ada prajurit, ada patih dan ratunya, ada yang sudah jadi janda atau duda, dst?”
Tanya petani itu.
“Ya belum sih pak, semua masih mati karena memang belum di jalankan dalang.”
Jawab si anak.
“Begitu juga manusia, nang. Ketika masih di dalam bumi itu masih berupa benda
mati. Ada yang
masih berupa tanah, berupa air, berupa tumbuhan, dsb. Ini di terangkan dalam
ayat Al-Qur’an yang artinya demikian: ‘BAGAIMANA
KAMU BISA MENGKUFURI KEPADA ALLOH SWT PADAHAL KAMU SEMUA ITU ASALNYA DARI
BENDA-BENDA MATI ’. Jadi manusia itu asalnya dari benda mati yang ada pada
bumi. Seperti wayang yang tersimpan dalam kotak yang keadaannya masih campur.
Di dalam kotak terkadang si Krisna di ditindih kakinya Petruk, Betara Guru di
tindih pantatnya Bagong, dsb.” Jelas si petani yg membuat si anak tertawa.
“Ha.ha..ha..bapak itu kok ada-ada saja.”
“Kenapa kamu mesti tertawa, nang ?” Tanya petani yang dia sendiri juga ikut
tertawa.
“Dari apa yang bapak uraikan tadi maka kita akan tahu bahwa pada dasarnya
manusia itu pernah mengalami mati sebelum mati di jagad luar. Jadi bisa
dikatakan matinya manusia itu ada dua kali yaitu :
Pertama, Mati ketika masih di dalam bumi.
Kedua, Mati setelah dilahirkan (meninggal dunia).
Tadi sudah bapak terangkan bahwa ketika masih di dalam bumi itu manusia dalam
keadaan mati karena masih berupa benda mati. Dan benda mati itu dinamakan
SULALAH. Seperti yang diterangkan dlm Alqur’an (Srt Al Mukminuun/12) yang artinya: ‘DAN SESUNGGUHNYA AKU JADIKAN KAMU MANUSIA DARI SULALAH DARI THIN’. Jadi manusia itu asalnya sudah ada hanya saja masih berupa benda mati dalam
tanah atau zat atau sari yg dinamakan sulalah. Dan sulalah itu asalnya dari ATH
THIN. Adapun ath thin itu adalah tanah dan air yang bertahun-tahun menjadi satu
(lempung). Jadi pertemuan zat air dan zat tanah itu menimbulkan benda yang
dinamakan sulalah.
Air mempunyai sifat hidup (ini mengandung RAHASIA
KEHIDUPAN) serta barokhah. Dan tanah itu mempunyai sifat mati. FA-AHYAA BIHIL ARDLO BA’DA MAUTIHAA (Albaqoroh/164) yang artinya: ‘MAKA JADI HIDUP DENGANNYA (AIR), BUMI
SETELAH MATINYA’.
Jadi jasmani manusia itu asalnya dari sulalah dan sulalah asalnya dr ath thin.”
Uraian petani yang panjang lebar tersebut berusaha
dicermati dengan sungguh-sungguh oleh si anak.
Sementara
itu pagelaran wayang kulit yang diselenggarakan petani itu masih tetap
berlangsung. Dan bahkan saat itu ramainya lakon perang tanding. Dan penduduk
desa pun tidak menyia-nyiakan tontonan yang langka itu. Ya, dibilang langka
karena sekarang sudah jarang sekali orang menanggap wayang kulit. Tapi sebagian
penduduk juga pada keheranan, kenapa si pemilik rumah yang menanggap wayang
kulit itu malah memilih duduk menjauh dari tontonan wayang kulit itu. Ada yg punya penafsiran
macam-macam. Tapi itu hal lumrah dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun bagi si ayah dan anak itu, apapun yang dipikirkan
oleh orang-orang dusun itu tidak dipermasalahkan karena apa yang sedang mereka
lakukan lebih berharga daripada yang mereka ketahui. Mereka tetap asyik dalam
perbincangannya. Dan orang-orang desa itu juga lebih asyik dengan tontonannya.
“Wah sayang ya, nang.” Kata petani itu pada anaknya.
“Kenapa pak, apa rokok bapak habis lagi? Mana aku beliin, pak.”
“Tidak usah, tuh suruh anak itu saja.” Kata petani itu sambil menunjuk ke arah
anak kecil yang lagi main. Kemudian si anak itu memanggil anak yang sedang
bermain itu untuk di mintai tolong beli rokok. Si anak itu dengan senang hati
mematuhinya karena berharap akan mendapat upah. Setelah ada rokok, barulah si
petani itu memulai melanjutkan pelajaran bathin pada anaknya. Tetapi sebelumnya
si anak di tanya terlebih dahulu :
“Bagaimana, nang, Kira-kira perlu bapak lanjutkan lagi pelajarannya?”
“Lho... iya dilanjut dong, pak. Aku merasakan perasaan kedamaian yang dalam
setelah mendengar pelajaran yang disampaikan bapak.” Kata si anak.
“Makanya dirimu jangan hoby main internetan terus, agar bapak bisa kasih
pelajaran bathin.” Pesan petani pada anaknya.
“Habis saya kira pelajarannya sama dengan pelajaran agama di sekolah, pak.”
“Memangnya kalau sama, kenapa ?”
“Oh..ya bosan tho pak, masak disekolah dapat kemudian dirumah dapat dengan hal
yg sama, kan
jadi jenuh ?” Jelas si anak beralasan.
“Yang bapak sampaikan ini juga pelajaran agama, kan ?” Kata si petani.
“Ya beda, pak. Kalau ini langsung meresap ke dalam hati.” Sahut si anak.
Mendengar penjelasan anaknya, si petani itu terdiam beberapa saat, dalam
hatinya merasa sangat-sangat bersyukur karena Rohmat Gusti Alloh yang meridhoi
terbukanya rohani si anak. Si petani menyadari betul bahwa tidak semua manusia
di ridhoi-Nya untuk mampu menerima pelajaran batin, salah satunya seperti yang sedang ia
paparkan pada puteranya, bahkan hingga saat ajal menjemput karena sikap dan
perbuatan yang ia lakukan selama hidup.
“Bapak akan melanjutkan lagi pelajarannya” Kata si petani.
Kemudian petani itu mulai menerangkan pelajaran selanjutnya :
Baiklah, sekarang bapak akan menerangkan proses dari sulalah menjadi manusia.”
Kata petani mengawali pelajarannya.
“Dari sulalah kemudian menimbulkan HABBAN yang artinya biji-bijian. Ini dapat
kita lihat dalam Alqur’an Surat Abasa ayat 25 sd 27 yang artinya: ‘SESUNGGUHNYA KAMI TELAH MENCURAHKAN
(MENURUNKAN) AIR (HUJAN) SEBANYAK-BANYAKNYA (25) KEMUDIAN KAMI BELAH
(RENGGANGKAN) TANAH SERENGGANG-RENGGANGNYA (26) LALU AKU TUMBUHKAN BIJI (27).
ADAPUN BIJI-BIJIAN ITU MEMPUNYAI KULIT DAN BAU YANG WANGI’. Dalam surat Ar
Rohman/12: ‘SESUNGGUHNYA ALLOH MEMECAH DI
DALAM BIJI DAN BIJINYA HALUS-HALUS KEMUDIAN BIJI-BIJIAN (HABBAN) YANG DI DALAM
TANAH ITU DI PECAH OLEH ALLOH SEHINGGA KELUARLAH SESUATU YANG HIDUP DARI YANG
MATI. Yaitu muncul tumbuh-tumbuhan seperti yang diterangkan dalam surat Ar Rum/19 yang
artinya: ‘DIKELUARKAN (DITUMBUHKAN) HIDUP
DARI YANG MATI’. Makanya Alloh dawuh, nang, Seperti yang diterangkan dlm surat Nuh/17 yg artinya :
“DAN ALLOH MENUMBUHKAN KAMU SEMUA DARI BUMI BERUPA TUMBUH-TUMBUHAN.”
Jadi kita ini sebelumnya pernah menjadi tumbuh-tumbuhan yaitu setelah menjadi
sulalah lalu dijadikan habban kemudian tumbuh menjadi NABAATA (tumbuh-tumbuhan)
dan macamnya tumbuh-tumbuhanan itu banyak sekali. Beraneka macam bentuknya,
warnanya, baunya rasanya, dsb. Ada
yang hikmahnya dijadikan makanan, obat dan ada yang dijadikan rokok, dsb. Ada yang buruk bentuknya tapi
hikmahnya besar seperti gedebog pisang yang sudah busuk tapi bisa untuk obat
udul (bisul). Jadi walaupun busuk masih tetap di cari. Beda dengan manusia,
kalau sudah busuk siapa yg akan mencari? paling belatung.
Umur pohon pisang itu usianya pendek, tapi selama hidupnya
penuh dengan manfaat. Pohon pisang walau dipotong batangnya tetap saja tumbuh.
Setelah tumbuh dia belum mau berbuah sebelum beranak. Ini dapat diibaratkan
seperti manusia yang seharusnya mau membagi sebagian ilmu pengetahuannya. Kemudian
pohon pisang itu belum mau mati sebelum berbuah. Demikian juga manusia, seharusnya
jangan sampai mati tanpa berbuah kebaikan. Pohon pisang yang sudah mati dan
batangnya sudah membusuk saja masih bermanfaat yakni debognya yang sudah busuk
tadi juga bisa untuk mengempeskan kaki yang bengkak (abuh). Pohon pisang ini
sampai disebut dalam Alqur’an tentang nanti disurga ada pohon pisang yg
bersusun-susun.” Urai petani itu dalam memberi wejangan dengan mencontohkan
tumbuh-tumbuhan.
“Lho, di surga nanti masih ada buah pisang ya, pak?” tanya si anak penasaran.
“Jangan kamu tafsirkan harafiahnya saja, nang. Bahasa Alqur’an itu bahasa Alloh
yang kalam-kalamnya diturunkan dari alam malakut, jangan kamu samakan dengan bahasa
bapak dan dirimu. Bahasa Alqur’an itu mengandung makna dhohir dan makna bathin.
Pohon pisang yang disebut dalam Alqur’an itu bahasa makna. Tapi bapak saat ini tidak
akan mengurai tentang makna bahasa dalam Alqur’an itu, karena kamu belum siap.
Dan kamu mesti ingat bahwa Allah Dzat Yang Maha Besar, sekali lagi, makna bahasanya
jangan kamu samakan dengan bahasa bapak dan dirimu?”
“Ya paham pak.” Jawab si anak mantap.
“Kalau begitu bapak lanjutkan lagi. Masih seputar tumbuh-tumbuhan, di dalam
Alqur’an Surat Thoha ayat 53 yg artinya: LALU
KAMI TUMBUHKAN DENGAN DIA BEBERAPA JODOH DI ANTARA TUMBUHAN YANG BERMACAM-
MACAM”. Petani itu berhenti senejak karena tiba-tiba ada suara gemuruh dari
para penonton wayang seperti ambotho rubuh (riuh gemuruh seperti suara batu
bata roboh)
“Kok nggak dilanjut, pak ?” tanya si anak heran.
“Ya sabar tho nang, bapak baru memperhatikan orang-orang itu lho, ada apa kok
pada sorak sorai?. Kelihatannya pada menyoraki adegan wayang yang lagi perang
tanding.” Jelas petani.
“Ya pak, kelihatannya perang antara Bimasena dengan musuh-musuhnya.” Imbuh si
anak.
“Betul, suara gamelannya memang demikian. Ini berarti sebentar lagi wayangnya
rampung. Nanti akan dilanjut dengan tari Beksan (tarian kemenangan setelah
perang) setelah sang Bimasena dapat mengalahkan para musuh-musuhnya. Beksan itu
tarian tokoh wayang dan biasanya dimainkan oleh ki Dalang setelah sang Bima
berhasil menumpas/mengalahkan musuh-musuhnya.” Jelas petani lebih lanjut.
“Hmmmm..kalau itu sih aku sering melihat pak. Cuma tidak tahu istilahnya saja.”
“Ya tidak apa-apa, yang penting sekarang sudah paham kan?” Hibur petani. Si petani melanjutkan pelajarannya :
“Sudah sampai di mana tadi?” tanya si petani.
“jika tidak salah, sampai… ada beberapa macam tumbuh-tumbuhan yang dikeluarkan
dari tanah walau dari satu jenis air.” Jawab si anak penuh semangat.
Setelah membenarkan jawaban anaknya, maka petani itu terus menyambung cerita yang
terputus.
“Sebagaimana telah kamu ketahui bahwa ada macam-macam jenis dan sifat tumbuh-tumbuhan.
Demikian juga pada diri manusia. Kalau tumbuh-tumbuhan ada yang pedas, pada
diri manusia juga ada yang pedas. Pedas bicaranya, pedas mimik mukanya, pedas
tingkah lakunya, dsb. Kalau tumbuh-tumbuhan ada yang berisik (pohon bambu), demikian
juga manusia ada yang suka berisik, suka bikin onar. Kalau coment di facebook
selalu membuat orang lain yang membaca merasa risih. Kalau hidup bertetangga
juga suka buat ribut masyarakat sekitar, dsb. Pohon bambu itu kalau terkena
angin sedikit saja sudah bersuara berisik. Demikian juga manusia, baru
mendengar omongan orang yang belum tentu benar saja sudah ribut kesana kemari. Tumbuh-tumbuhan
ada yg hidupnya pendek tapi selama hidupnya telah memberi manfaat yang banyak
sekali. Contoh: padi, jagung, pisang, dsb. Demikian juga manusia, ada yg
hidupnya pendek namun telah memberi manfaat yang banyak, contohnya: Panglima
Jend. Sudirman, dan para pahlawan yang gugur dalam usia muda.”
Tiba-tiba ada suara yang memanggil nama anaknya, “Dar.. Sadar ! Statusmu ada yang dikomentari, kelihatannya pacarmu. Cepat sana ditanggapi !” kata seorang anak lelaki yang kelihatannya teman anak si petani itu.
“Biar saja.” Jawab si anak petani pada teman yang
memanggilnya.
“Tapi... teman-teman sudah pada menunggu kamu di warnet.” Bujuk sang teman
“Biar saja, sampaikan kalau aku ada keperluan dengan bapakku.” Sahut Sadar
menolak ajakan temannya.
“Bagaimana nang, apa bapak sebaiknya menghentikan pelajarannya dulu?” tanya
petani itu memotong pembicaraan anaknya pada temannya.
“Tidak pak. Dilanjut saja.” Jawab Sadar yang membuat hati sang bapak merasa
bangga dan senang.
“Baiklah jika begitu, bapak akan lanjutkan lagi.” Kata si petani itu sambil
menyalakan rokoknya.
“Bapak akan menerangkan lanjutan proses sulalah jadi manusia.”
“Ya pak, itu yang aku tunggu-tunggu.” Sahut sadar dengan tidak menghiraukan
suara teman-temannya yang masih terus memanggil namanya.
“Dari tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam itu, berbagai macam rasa dan jenis
pula yang dimakan manusia. Ada
yang rasanya pahit, ada yang rasanya manis, ada yang pedas, rasanya asam, dsb. Kemudian
makanan yang dimakan manusia itu ada sarinya juga ada ampasnya. Dari sari
makanan akhirnya diolah tubuh menjadi darah. Dan mengenai ampas dibuang untuk
dikembalikan ke tanah. Lalu dari sari darah menjadi MANIYYI YUMNA (air suci)
bagi laki-laki atau disebut TIRTO KAMANDANU. Ini diterangkan dlm surat Al-Qiyamah ayat 37.
Tirto kamandanu itu berasal dari kata tirto yang berarti air, kaman yang
berarti benih, dan danu yang berarti sumberan.
Jadi tirto kamandanu itu ialah air yang menjadi benih yg berasal dari
sumbernya. Bukan sumber dari bumi bawah ini, tetapi adalah sumber yang berasal dari
dirinya sendiri. Adapun tempatnya tirto kamandanu atau maniyyi yumna bagi laki-laki
namanya SULBI dan bagi wanita namanya TOROIB. Seperti yg diterangkan dlm
Alqur’an Surat At Thoriq/7 yang artinya: ‘YANG
DI KELUARKAN DARI ANTARA TULANG PUNGGUNG (LAKI-LAKI) DAN TULANG DADA (WANITA)’.
Selanjutnya air suci atau tirto kamandanu yang ada di shulbi dan taroib itu
kalau sudah bertemu (menyatu) maka jadilah NUTFAH. Dan jika sudah jadi nutfah
tempatnya tidak lagi di shulbi dan taroib melainkan di QOROORIM MAKIIN seperti
yang diterangkan dalam surat
Al Mu’minun ayat 13, atau sering pula disebut dengan istilah ALAM ARHAM, dan dalam
istilah ilmu pewayangan dinamakan CUPU MANIK ASTOGINO. Setelah menjadi nutfah,
selama 40 hari kemudian menjadi ALAQOH. Dari alaqoh, selama 40 hr kemudian
berubah menjadi MUDLGOH. Setelah jadi mudlgoh, selama 40 hari kemudian malaikat
di perintahkan oleh Alloh untuk menulis 4 kalimat. Dan tulisan malaikat di alam
arham itu sering disebut: SASTRO CETHO HAYUNINGRAT PANGRUWATING BAWONO.”
Berhenti sejenak petani itu dari wejangannya, karena
tangannya merogoh saku celananya.
“Cari apa, pak ?”
“Ini lho cari korek, tadi bapak taruh dimana ya?”
“Lha itu kan
korek yang dipegangi bapak.” Kata Sadar menunjukkan.
“Oh... iya.” Sahut petani itu bengong.
“Mungkin saking asyiknya pelajaran ini ya, pak?”
“Kamu suka, nang?”
“Kalau ga suka, aku kan
sudah pergi bersama teman-temanku tadi, pak.” Jawab Sadar mantap.
“Baiklah jika begitu bapak akan melanjutkan pelajarannya, jadi manusia itu dimasuki unsur malaikat ketika masih dalam usia 120 hari di dalam kandungan. Maka bagi yang mengerti, apabila bermujahadah dengan sungguh-sungguh selama 3 x 40 hari (120 hari) maka insyaallah nanti bisa sampai kesitu, yaitu ke unsur malaikat. Dan dari situ manusia akan mengetahui rahasia tulisan yang ada di dalam dirinya sendiri.
Selanjutnya proses di alam rahim (guo garbo) sampai
sembilan bulan. Betapa yang berasal dari dalam perut lalu dikeluarkan oleh
Allah untuk melanjutkan proses di alam dunia (menjalani lakon dunia). Setelah
selesai lakon di dunia kemudian berpisahan (pegatan dalam bahasa Jawa) maksudnya
adalah perpisahan antara jasmani dan ruhani dan inilah yg dimaksud/dinamakan
mati/meninggal dunia. Jadi hakekat dari kata maut itu adalah perpisahan yaitu
perpisahan antara ruhani dan jasmani. Kemana perginya jasmani ? Jasmani kembali
ke asalnya yaitu ke kotak (bumi) dan yg unsurnya malaikat kembali kepada
malaikat dan yang dari alam amar kembali ke alam amar.” Sampai di situ
penjelasan si petani pada anaknya.
“Jadi sebetulnya wayang kulit itu menggambarkan kehidupan kita dan kehidupan
manusia pada umumnya ya, pak?” Tanya Sadar pada bapaknya.
“Betul sekali nang. Bahkan tidak hanya wayangnya saja, tapi gamelannya,
yogonya, sindennya, dst. Semua adalah perlambang kehidupan manusia.” Jawab si petani.
“Berarti orang yang menciptakan seni wayang kulit pasti bukan orang sembarangan
ya pak, karena ia mengerti gambaran kehidupan sesungguhnya.”
“Ck..ck..ck.. benar-benar hebat ya pak orang yang menciptakan seni wayang.” Sadar berdecak penuh kagum.
“Itulah nang, salah satu contoh manusia yang berpikir tidak
untuk kepentingan sendiri, oleh karenanya ia diberi kelebihan oleh Alloh. Dan
sungguh disayangkan seni wayang yang sejatinya punya nilai falsafah pengetahuan
kehidupan yang begitu tinggi sampai tidak diperhatikan oleh kaum muda jaman
sekarang. Bisa-bisa sekian tahun lagi penduduk asli negeri kita sudah tidak
kenal wayang, dan tahu-tahu wayang sudah ada di negeri orang. Kalau sudah demikian
baru kita sewot kayak kebakaran jenggot.” Kata petani mengingatkan akan
pentingnya mempelajari seni wayang.
Demikianlah kisah Sangkan Paran Dumadi yang diceritakan si petani kepada
anaknya. Bagi pembaca yang mungkin punya pemahaman yang jauh lebih benar dari
apa yang disampaikan dalam kisah cerita ini, anggap saja ini hanyalah sebuah
cerita belaka, yang mana yang baik dan benar menurut nurani anda sendirilah yang
seharusnya diterapkan. Sekian.
Narasumber